Harusnya Kita - Bukan aku bukan kamu (kata kata Romantis)

Harusnya Kita - Bukan aku bukan kamu



Lelaki ini menangis didepanku. Rambutnya awut awutan, wajahnyapun terlihat sembab karena air yang sedari tadi mengalir tak henti. Kepalan tangannya kaku membiaskan hatinya yang beku. Berkisah tentang alur cintanya yang meregang seperti otot-otot ditangannya. Kepasrahan sempat kulihat dari sorot matanya yang awas. Sesekali menerawang jauh ke sekeliling ruangan tanpa arah. Dia mencoba melukiskan deretan nama kekasihnya. Mengeja satu per satu huruf dan membuat tanda di setiap catatan dosa yang telah diperbuatnya. Di akal budinya memang terlukis seseorang. Tapi sejak malam ia mendapati sebuah adegan yang mencabik dasar jiwa raganya, rasanya ia tak lagi bersahabat dengan ikhlas. Menunduk, kemudian tetes air mata kembali berderai, mengalir seperti mendung yang berakhir hujan. Mendongak, mengusap dengan punggung tangan sisa air yang masih menggenang. Aku mengerti apa yang sedang dirasakannya. Aku tau seperti apa gemuruh sukma yang mendera meronta seperti tak memberi leluasa pada bathin untuk menenangkan diri. Seolah berdiri di ujung karang, melihat deburan ombak yang mengganas dibawah sana. Hanya ada dua pilihan, iya dan tidak. Apalagi yang menjadi pilihan selain mengakhiri hidup?


“….Kamu tanya sama perempuan lain diluar sana.. Apa rasanya ketika tau orang yang dikasihinya menulis status mesra kepada perempuan lain. Coba kamu tanya.. Aku pengen tau!! Sakit..!! Dan aku ga bisa melakukan apapun selain menunggu kabar dari kamu..”


“Aku nulis apa? Kamu jangan nuduh. Kamu jangan melenceng dari masalah. Ahh.. Alesan!! Ini semua cuma alasan khan? Biar masalah ini terkesan aku yang memulai. Coba kamu tanya juga pada lelaki lain diluar sana.. Sakit ga kalau tau perempuan yang dicintainya bersama cowok lain.. Sakit!! Kamu ga tau aja… belaga bego, dan kemudian nglempar masalah ke aku..”


*****


Kumainkan ponsel yang sedari tadi kugenggam. Ada keraguan menggelora dihati bak kembang putri malu yang menguncup tersentuh jemari. Menunggu sesaat sebelum mekar terhalau angin yang berhembus mendayu. Kali ini kamu bebas menari dihamparan kerinduanku yang mengerak berkarat. Menyentuhnya dengan lembut, yang serta merta membuat semua tanaman cinta bernyanyi mengiringi ayunan langkahmu. Aku kangen. Bahkan aku tak sanggup menyimpan derasnya kerinduan yang kumiliki padamu.


Awalnya pikiranku terbatas, tersekat oleh aral yang melintas. Dan nyatanya hanya gundah yang selalu mengurungkan niat setiap kali aku ingin menghubungimu. Aku tak lagi percaya pada angin yang selalu menyampaikan kabar tentangmu. Aku tak lagi percaya pada hujan yang rinainya membiaskan wajah cantikmu. Kulabrak setiap ego yang bersemayam dalam bekunya rasa. Hingga saat jemari tanganku memberanikan diri untuk menekan tombol untuk terhubung denganmu, aku pasrah.


Diseberang sana, tak ada nada lembut menyapa. Tak ada desah nafas yang mengisyaratkan sesak dalam dada. Tak ada salam kehangatan yang bisa meluluhkan karat dalam raga. Semuanya bisu. Hening tak menggema. Bunyi nada sambungpun akhirnya terputus. Kamu mengabaikan berita yang seharusnya kau tau. Bahwa rindu ini masih tersimpan rapi diantara barisan cinta yang ingin kunyatakan. Di ujung garis batas kekecewaan, aku masih mengharap kehadiranmu.


Awalnya…


Kita hanya berjabat erat


Menggenggam tangan mengucapkan nama


Sekilas bercerita menjadi sahabat


Dan berpisah dengan peluk erat


Lalu…


Deru rindu mulai mengusik kalbu


Bertanya kabar seiring waktu


Menjadikan malam panjang menuai rasa


Melukiskan cinta dalam indah saujana


Tapi…


Perbedaan menjadi penghalang


Menjadikan jarak semakin terentang


Menyisakan lara yang jauh membentang


Membiarkan ego berlayar mengembang


Akhirnya…


Emosi menyeruak tak terkendali


Kedewasaan tak lagi ada dalam diri


Berpisah untuk saling mengingkari


Bicara cinta, tapi saling menyakiti


Kemudian ia menyalakan rokok putihnya. Hisapan tembakau dan kepulan asap biarlah menjadi pengganti asa yang tercekat di urat nadi. Nuansa keremangan yang melingkupi pribadinya membuat lelaki gundah ini lemas bagai tak bertulang. Aura yang terpancar laksana membunuh mimpi yang ingin diraih. Dan nikmat racikan tembakau nyaris tak berasa dalam bibirnya yang pecah mengering.


Kepulan asap hanyalah sandiwara. Bahkan sang sutradarapun akan mengulangi adegan yang sama ketika gerakan tangan dan bibir tak sesuai dengan naskah. Ini semua konyol. Ini semua bohong. Tertipu dan ditipu menjadi hal yang sulit untuk dibedakan. Tampak sama walau seharusnya berbeda. Apakah memuja cinta adalah kesalahan?


Iba aku melihatnya. Kuulurkan tanganku untuk menggapai pundaknya. Meremasnya sebagai tanda bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Seharusnya ini adalah hal yang mudah. Mudah untuk dijalani dan mudah untuk dimengerti. Tapi kenapa untuk hal sepele seperti ini susah dilakukan? Apakah Tuhan telah mengganti rasa kasih mengasihi menjadi sebuah pertikaian? Salahkah bila aku menginginkan kasih sayang dari perempuanku? Aku mengejar cinta seperti bentuk yang kuinginkan. Aku mengabdikan diriku pada nilai yang ku-agungkan. Bukan semata mata untuk kepentingan diri sendiri, tapi aku ingin kebersamaan selalu menjadi panutan.


“Aku ndak tau lagi mau ngomong apa, mas… Kesannya semua hal tertutup sebelum mulai. Aku ndak tau cara menghadapi mereka..”


“Mereka?? Mereka itu sopo? Yang dibutuhkan cuma saling ngerti aja kok. Ndak perlu aneh-aneh. Kalau aku salah, ya diingetin. Begitu sebaliknya. Aku cuma butuh pengakuan. Nek aku diakui, apapun yang terjadi aku yakin kamu bersamaku. Itu cukup… Sederhana wae, ora kok macem-macem trus jadi saling menghindar untuk menyakiti”


“Kan diluar sana orang itu saling sawang sinawang, mas.. Tanpa disuruh mereka pasti melihat apa yang terjadi. Ada yang nilai positif, ada yang negative. Lha kalo kita seperti ini terus, mereka nganggep aku ini apa?”


“Kamu ndak percaya aku? Kamu ndak percaya kalo aku sanggup? Mereka itu sopo to? Ndak usah mikir apa yang mereka pikirkan. Yang penting itu kita. Ndak perlu update status. Aku jengah mbaca statusmu. Justru orang akan menilai ada sesuatu kalo kamu nulis status gitu. Wes to.., kalo cinta, yawes kita berdua aja. Nulis status aneh, padahal sebenarnya kamu kangen aku to? Lha kenapa ga ditulis aja.. KANGEN..”


“Kamu itu…, Dari dulu ndak brubah, mas.. Sok tau dan sok ngerti. Padahal ndak gampang kalo kamu sendiri yang merasakan”


“Lho kok sok tau sih? Aku cuma memudahkan. Aku cuma mau bicara jujur. Kalo memang kangen, ya aku bilang kangen. Ndak perlu semua orang tau kalo aku kangen. Itu yang biasanya aku sms ke kamu to? Malah kamu njawabnya cuma… TUMBEN?? Lha piye ?”


“Soalnya kamu aneh.. Ndak ada angin, ndak ada apa-apa.. tiba-tiba kamu sms kangen. Nah aku yo bingung… Baru ketemu kok udah kangen? Lucu…”


“Oalah.. Itulah yang kamu ndak ngerti. Kangen itu kan cuma satu kata, punya banyak makna. Artinya bisa ingin terus bersama. Bisa ingin saling bicara. Bisa ingin terus liat kamu. Bisa ingin meluk kamu. Bisa ingin gandengan tangan sambil jalan-jalan. Atau cuma duduk diem disebelahmu, blas ndak ngomong tapi ngayal jika seandainya kita selalu berdua tiap hari. Macem-macemlah… Itulah kenapa kadang aku tiba-tiba sms kangen. Harusnya kamu mbalesin sms yang sesuai to.., Ora trus njawab TUMBEN?”


Sungguh aku sangat tak mengerti, kenapa cinta begitu saja berubah menjadi penghalang. Harusnya kita sama-sama tau, bahwa kita dipertemukan karena ada keselarasan yang kita yakini. Bukan hanya kesamaan, tapi keselarasan itu harus menjadi kemesraan dan kebersamaan yang patut diperjuangkan. Perbedaan bukan menjadi landasan bagi pertikaian yang terjadi. Justru sebaliknya. Perbedaan tak akan berarti bila kita saling memahami. Tak perlu mengada… Dimulai dari hal kecil yaitu, jujur pada diri sendiri.. kiranya hal itu adalah awal yang mudah. Susah, tapi cobalah…


Kututup semua situs jejaring social. Aku ga butuh. Aku hanya ingin ragamu bersamaku. Aku hanya ingin bicara sebagai sarana komunikasi kita. Orang lain biarlah menjadi saksi dan penikmat drama ini. Baik buruk apa yang pernah terjadi, biarlah menjadi kenangan. Tersimpan seimbang antara otak kiri dan otak kanan. Tentang cinta, aku hanya ingin kita yang merasakan. Pahitnya perjalanan ini, aku hanya ingin kita yang melalui. Jika memang kedua lututmu tak lagi sanggup berdiri, biarlah aku yang akan membopongmu untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Aku tak ingin menyerah. Karena kutau, derai air mata yang pernah ada, adalah tangisan kekhawatiranmu padaku.


Aku tak lagi bicara aku. Dan kamu tak lagi bicara kamu. Yang akhirnya, kita akan bicara tentang kita. Bukan aku, bukan kamu.
Next
Previous
Click here for Comments

0 comments: